Selasa, 31 Agustus 2010
"Latest Edition" Standard
Acapkali kita temukan pada saat membaca atau mereview sebuah dokumen teknis seperti spesifikasi dan prosedur, istilah “Latest Edition” untuk menunjukkan referensi acuan yang paling up date.
Sebagai contoh kalimat: “… all provision of welding requirements of latest edition of the API 1104 standard shall be fulfilled…” Dimana disini dimaksudkan bahwa pihak yang melaksanakan proses pengelasan harus memenuhi semua persyaratan teknis sesuai dengan standard API 1104* edisi yang terbaru. (Note - API : American Petroleum Institute – API 1104 Welding of Pipeline and Related Facilities).
Dari contoh kalimat diatas tentunya mempunyai maksud yang baik dimana proyek akan diusahakan untuk memenuhi persyaratan teknis yang tinggi dan paling mutakhir dengan mengadopsi standard pengelasan edisi terbaru. Tetapi satu hal yang perlu disadari dari suatu standard industri adalah standard akan selalu mengalami perubahan dan pemutakhiran. Hal ini sangat bergantung kepada perkembangan industry dan kemajuan teknologi dimana standard itu hidup, yang kemudian perkembangan tersebut dituangkan dalam standard edisi-edisi terbitan berikutnya – bisa jadi periodic tahunan, dua tahunan ataupun yang umum memang tidak selalu terbit secara periodik.
Untuk proyek-proyek dengan jangka panjang (multi years) pemakaian istilah “latest edition” dapat berpotensi menimbulkan perselisihan dalam proses berjalannya proyek. Sebagai contoh bisa saja terjadi perselisihan antara project owner dengan contractor/vendor, dimana pada saat penerbitan order atau tandatangan kontrak suatu proyek mengacu pada standard terbitan terbaru pada saat itu. Tetapi kemudian, terbitlah standard yang lebih baru lagi dalam perjalanan waktu proyek tersebut. Hal ini sedikit banyak akan menimbulkan pertanyaan bagi beberapa pihak apakah yang diacu adalah standard diawal proyek atau standard yang baru terbit. Karena standard yang baru terbit ini sekarang yang menjadi “the latest edition”.
Jika harus bertahan di standard edisi awal proyek maka secara legal/kontraktual hal ini adalah pelanggaran karena standard tersebut bukan lagi menjadi yang “latest edition”, tetapi jika mengikuti standard yang baru terbit maka banyak efek yang akan ditimbulkan seperti perubahan design, kenaikan harga karena perubahan persyaratan, keterlambatan waktu penyelesaian, dll.
Memang pada umumnya hal ini tidak akan menjadi hal yang sangat ekstrem karena skala perubahannya akan tergantung seberapa besar perubahan pada standard tersebut dan sejauh mana standard yang berubah tersebut mempengaruhi proyek, karena proyek pada umumnya memakai banyak standard acuan.
Untuk itu sebaiknya pemakaian frasa “latest edition” bagi suatu dokumen proyek dihindari, lebih baik menetapkan langsung tahun terbitan edisi yang terbaru, seperti API 5L:2007, ISO 9001:2008, dll. Atau sebagai alternative mungkin bisa juga disebutkan “latest edition when contract signed” tetapi tentunya pihak legal yang lebih mengetahui tentang bahasa kontraktual...
Jumat, 27 Agustus 2010
Pertumbuhan Industri Kapal Dalam Negeri Meningkat 15 %
Surabaya - Pertumbuhan Industri kapal dalam negeri mulai bangkit dan terus mengalami peningkatan hingga 15 persen. Bahkan, saat ini sekitar 30 tender kapal akan dimenangkan oleh industri kapal lokal.
Hal ini diungkapkan Menteri Perindustrian, MS Hidayat, usai menyaksikan penandatangan nota kerjasama antara PT DOK dan Perkapalan Surabaya (DPS) dengan PT Pertamina di PT DPS, Jalan Perak Barat Surabaya, Kamis (26/8/2010).
"Saat ini pertumbuhan industri perkapalan mulai bangkit dan sedang berkonsolidasi,"
katanya.
Hidayat juga mengungkapkan, kebangkitan ini berdampak terhadap keuntungan yang besar. Menurutnya, lebih kurang 30 tender yang kemungkinan akan dimenangkan industri kapal lokal.
Hidayat menambahkan, pertumbuhan industri perkapalan sendiri akan terus berkembang
hingga 5 tahun kedepan. "Untuk akhir tahun ini kemungkinan akan ada puluhan sekitar
5-15 persen," pungkasnya.
Source:http://surabaya.detik.com/read/2010/08/26/164022/1428762/466/pertumbuhan-industri-kapal-dalam-negeri-meningkat-15-?y991102465
Kamis, 26 Agustus 2010
Kapal Non Konvensi (Non Convention Ship)
Kembali ke definisi kapal, dimana menurut UU RI No 21 th 1992 kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Jelas sekali menurut UU ini, semua kendaraan air adalah kapal. Tetapi sedikit meninjau ketentuan umum dari konvensi internasional IMO – terutama SOLAS & ILLC - yang banyak diadopsi oleh negara-negara didunia ini termasuk Indonesia, disini terlihat konvensi internasional tersebut lebih fokus aplikasinya untuk kapal-kapal dengan jalur pelayaran internasional. Adalah suatu hal yang wajar jika konvensi tersebut membatasi kriteria kapal-kapal yang wajib terkena peraturanya dikarenakan sangat sulit untuk membuat satu peraturan dasar yang dapat mencakup berbagai jenis dan ukuran kapal beserta kondisi operasinya.
Seperti disebut diatas bahwa karena konvensi internasional tersebut lebih membatasi diri untuk kapal dengan internasional voyage, sehingga menjadikan kapal dengan kriteria dibawah ini tidak terikat pada aturan konvensi tersebut.
SOLAS (Safety Of Life At Sea) tidak berlaku untuk kriteria kapal dibawah ini:
- Kapal perang dan kapal pasukan
- Kapal kargo dengan tonase kurang dari 500GT
- Kapal yang tidak digerakkan dengan peralatan mekanis.
- Kapal kayu yang dibangun secara primitive (tradisional)
- Yacht yang tidak dipakai untuk perdagangan
- Kapal Ikan
Demikian juga ILLC (International Load Line Convention), yang tidak berlaku untuk kriteria kapal dibawah ini:
- Kapal perang
- Kapal baru dengan panjang kurang dari 24 meter
- Kapal “existing” dengan tonnage kurang dari 150GT
- Yacht yang tidak dipakai untuk perdagangan
- Kapal Ikan
Karena kapal-kapal dengan kriteria diatas tidak tercakup dalam aturan konvensi, maka istilah yang umum diberikan untuk kapal-kapal tersebut, yaitu Kapal Non-konvensi atau “Non-convention Ship”.
Secara logika, berarti konvensi diatas tidak menyediakan peraturan spesifik yang berfungsi sebagai standard jaminan kelayakan dan keselamatan kapal-kapal non-konvensi tersebut. Dalam hal ini adalah menjadi kewajiban pemerintah suatu negara untuk memastikan bahwa ada dan tersedianya sutau peraturan spesifik yang menjamin kelayakan kapal-kapal non-konvensi di wilayah negaranya.
Kalau kembali merujuk pada text dari UU RI No 21 th 1992 diatas, maka disini jelas bahwa pemerintah memang mempunyai kewajiban cakupan yang lebih luas daripada apa yang disediakan oleh konvensi internasional. Karena UU no 21/1992 tersebut mencakup semua kapal tanpa memandang batasan criteria seperti diatas.
Sehingga penerbitan Kepmenhub no. KM65/2009 tentang Standard Kapal Non-konvensi pada September 2009 lalu adalah suatu langkah maju pemerintah sebagai upaya mencapai standard keselamatan pelayaran yang lebih baik. Mengingat beberapa negara dikawasan ini telah memiliki peraturan sejenis sejak beberapa tahun yang lalu, antara lain Singapura yang sembilan belas tahun lebih dulu dengan adanya Merchant Shipping Act(Non-Convention Ships) Safety Regulations, yang terbit tahun 1990.
Bagaimanapun juga keterlambatan bukan menjadikan alasan bagi kita untuk tidak bisa menjadi yang terbaik, sekarang tergantung bagaimana komitmen semua stake holder perkapalan & pelayaran di Indonesia untuk menggapainya.
Senin, 02 Agustus 2010
Tank or Waterborne Vehicles..?
In 1951, when the Soviet Union was on its high, authorities had an idea of building special floatation devices for tanks. First sample workpieces for T-54 tank were made at in 1952, and, some several weeks later tests were carried out on the Oka river. In the next two years trial test at the sea were conducted. And in 1957, eventually, the floatation device was passed into service.
There were supposed to be as many as 187 (according to the amount of tanks) floatation devices on the strength of the motor rifle division.
Along with that working activities of building floatation devices for T-55 and 3SU-57-2 tanks were lead. In 1959 at plants №342 and №174 there were working activities of commoning of floatation devices carried out. In 1960, an upgraded floatation device PST-U (universal one) was put into service.
PST-U consisted of five pontoons that were filled with plastic foam. Total weight of the device was 10 tonnes. Buoyancy reserve (with T-54 tank) was 40%. Maximum speed of tank with the floating device was 19 km/h ashore and 12 km/h afloat. The floating device was equipped with its own fuel tanks with a capacity of 500 litres; equal to coverage of 60-80 kilometers distance without any tank’s fuel consumption.
Water obstacles traverse could be done with sea disturbance of 5 points and tank gunnery with 1.5 points. Together with tank it was possible to carry a landing troops crew of 25 people (40 for 3SU-57-2) though gunnery with the crew aboard was prohibited. A floatation device mounting could be carried out in as less as 35 minutes and its release was performed in no time at all. PST-54 floatation device was carried by four ZIS-151 trucks.
In 1962 there were test of light-weighted floatation device PS-1 for T-55 carried out. Its total weight was 5.5 tonnes, its maximum speed was 13.7 km/h afloat and 25 km/h aground while it could cover up to 100 kilometers. The floatation device was carried by two trucks.
After it lots of new tests were performed and many different upgraded kinds of floatation devices (some of them for heavy tanks) were constructed.
In the end of 1950’s there was engineering of high-velocity landing floatation devices with underwater wings commenced. The floatation device comprised two motor boats (with displacement of 12 tonnes each) which helped to boost speed of a waterborne vehicle to 30 knots. Every motor boat had engine with 1000 hp/h. First prototypes were made in 1961.
In 1967-1968 two production prototypes passed tests and mass production began. The Baltic and the Black Sea region battalions were equipped with these floatation devices right away.
Source: englishrussia.com
Minggu, 01 Agustus 2010
Keterlibatan "Pihak Ketiga" dalam Sebuah Proyek
Proyek adalah suatu pekerjaan yang spesifik dengan tujuan tertentu yang melibatkan sumberdaya, biaya, periode waktu yang terbatas dan biasanya dijadwalkan secara detail.
Dalam suatu proyek pembangunan – misal kapal, offshore structure ataupun instalasi lannya – dilihat dari satu sisi, adalah interaksi antara dua buah atau lebih budaya perusahaan yang berbeda. Minimal adalah interaksi antara pihak pemilik (project owner) dan pihak yang mengerjakan (lazim disebut sebagai kontraktor). Spesifikasi teknis dan kontrak order adalah dokumen-dokumen yang merepresentasikan keinginan owner atas level produk yang harus dihasilkan/ dibuat oleh kontraktor serta bagaimana kontraktor harus mengikuti keinginan owner dari sisi non-teknis yang lain-seperti term of payment, progress measurement, dll. Sebetulnya disinilah terasa bahwa nilai-nilai budaya perusahaan dari pihak owner terepresentasikan.
Sedang di satu sisi, pihak kontraktor juga memiliki budaya kerja dan pengalaman terhadap proyek sejenis, bagaimana mereka akan merealisasikan order dan spesifikasi teknis yang diminta oleh pihak owner.
Benturan antara pihak owner dan kontraktor dalam suatu proyek kerap terjadi baik dari sisi teknis maupun sisi non-teknis, meskipun rata-rata masih dalam batas-batas kontraktual. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, dan yang paling mendasar adalah perbedaan intepretasi antara kedua pihak terhadap pasal-pasal dalam spesifikasi dan/atau kontrak, belum lagi jika proyek tersebut dijalankan oleh personel kunci yang kurang dalam hal kompetensi dan kewenangan, baik personel dari pihak owner ataupun kontraktor.
Perbedaan intepretasi ini bisa terjadi pada tahap yang paling awal sekalipun dari sebuah proyek, yaitu pada proses tender/lelang, dimana beberapa factor a.l kesalahan perhitungan dari pihak kontraktor dimana salah satunya adalah kenaikan harga pasaran barang & bahan di tengah periode pelaksanaan proyek, sehingga otomatis menaikkan biaya proyek yang kadangkala dikompensasikan dengan mengurangi variabel biaya yang lain yang berdampak pada kontrak/spesifikasi. Atau juga kesalahan mengintepretasikan lingkup pekerjaan dari dokumen lelang, dimana ada kalanya lingkup pekerjaan tertentu ternyata memerlukan pekerjaan pendukung lain yang memerlukan biaya dan tenaga tambahan yang sebelumnya tidak terperhitungkan.
Untuk mengurangi benturan dalam hal teknis, biasanya suatu kontrak proyek melibatkan pula “pihak ketiga” yang lazim disebut sebagai third party ataupun pihak dari otoritas yang disebut sebagai certifying authority atau notification body. Dimana pihak third party ini melakukan verifikasi terhadap proyek tersebut secara teknis, dan jika ada perbedaan antara owner & kontraktor, maka third party akan menjadi penengah berdasar referensi regulasi/statutory, spesifikasi teknis, standard/code dan persyaratan kontrak, tentunya dilihat secara case by case. Dalam pembangunan suatu kapal baru ataupun kegiatan docking, badan klasifikasi adalah pihak yang berperan sebagai third party, bahkan lebih dari itu dimana pada banyak hal badan klasifikasi juga berperan sebagai wakil dari flag authority untuk urusan statutory/regulasi.
Disamping itu bukan hal yang jarang pula dimana perbedaan pendapat secara teknis di lapangan adalah akibat dari kompromi-kompromi non teknis antara owner & kontraktor. Dan jika hal ini harus terjadi, maka pemenuhan persyaratan minimum spesifikasi dan standard merupakan syarat mutlak yang harus tetap dilakukan.
Oleh sebab itu, seberapa jauhnya perbedaan budaya perusahaan antara owner dan kontraktor dalam pelaksanaan suatu proyek, persamaan persepsi, pemahaman dan pendekatan setiap masalah kepada peraturan, regulasi, standard/code dan best practice adalah hal yang sangat mendasar untuk mengurangi perbedaan pendapat yang kontraproduktif.
Langganan:
Postingan (Atom)