Kamis, 30 Desember 2010

Z-Grade Quality Material (Through Thickness Property)

Sudah menjadi Sunatulloh, bahwa proses pengelasan akan menghasilkan tegangan (stress) pada pelat induk. Dimana tegangan tersebut dapat menyebabkan timbulnya cacat retak. Retak/ pembukaan material yang mempunyai arah paralel terhadap permukaan logam disebut sebagai lamellar tearing, cacat ini akan menyebabkan kerusakan material pada posisi tegak lurus ketebalan pelat.


Lamellar tearing, secara kamus arti kata “lamellar” adalah lapisan tipis, membran atau jaringan berbentuk pelat. Sedangkan “tear” adalah tertarik sobek manjadi beberapa bagian. Sehingga lamellar tearing pada material dapat diartikan sebagai keretakan material akibat pengelasan yang berbetuk lapisan yang terletak di dalam material dan searah permukaan material pelat tersebut. Lamellar tearing ini pada umumnya terjadi pada material pelat baja rolled, dimana ini adalah kondisi berbahaya yang terjadi ketika material pelat yang mempunyai sifat kelenturan yang rendah (low ductility) yang dilas secara tegak lurus terhadap arah ketebalan pelat tersebut.
Keretakan ini dapat terjadi dimana:
- Regangan (strain) karena kontraksi akibat perubahan suhu terjadi pada arah ketebalan pelat (through thickness direction of plates)
- Atau adanya inklusi/sisipan material non-metal yang berupa bidang lapisan tipis dimana bentuk utama dari sisipan (planar) tersebut searah dengan permukaan pipa. Sehingga regangan (strain) akibat kontraksi tersebut akan memaksa inklusi non-metal tadi sebagai pemicu untuk membentuk bukaan planar pada arah pararel terhadap permukaan pelat.

Pada struktur baja yang dilas, dimana pada posisi beban ditanggung tegak lurus terhadap permukaan pelat, lamellar tearing dapat menjadi penyebab awal kerusakan struktur yang lebih besar.
Pada level kualitas pelat baja normal, biasanya pengujian telah dilakukan searah rollingnya (memanjang pelat – sumbu x) maupun tegak lurus arah rollingnya (melebar pelat – sumbu y), dan property material pada arah tegak lurus ketebalan pelat (sumbu z) tidak disebutkan.

Dengan teknologi produksi yang khusus pada saat ini serta pengurangan kandungan belerang, kebanyakan pabrikan baja telah mempunyai kemampuan untuk memproduksi pelat baja dengan property untuk arah ketebalan pelat (sumbu z) tersebut, dimana pelat dengan jenis ini disebut sebagai material dengan kualitas Z-grade. Material Z-grade Quality ini meminimalisir resiko terjadinya lamellar tearing, karena material ini mempunyai ketahanan (ductility) yang lebih pada arah tebalnya disbanding dengan material kualitas normal grade.


Untuk mengetahui sejauh mana ketangguhan sifat-sifat (property) material Z grade quality ini, dilakukan pengujian tarik yang spesifik (searah sumbu Z) pada sample material, dimana jika menghasilkan reduction area yang tinggi maka material ini dapat dikategorikan mempunyai Z grade quality yang baik.

Tentu saja prosedur pengujian dan berapa besar nilai minimal reduction area yang harus didapat supaya material tersebut dapat dikategorikan baik/ tidak, harus mengacu pada standard industri yang berlaku.
Beberapa standard industri a.l: ASTM D7291, EN 10164 atau Rule badan klasifikasi seperti GL, BV, LR, ABS atau DNV juga menyediakan prosedur pengujian serta criteria keberterimaan untuk material dengan kategori Z-grade quality ini.


Sekilas jika meninjau GL Rule for Material & Welding - Section1: Steel Plates, Strips and Bars, dimana disitu untuk category Z-grade material ditentukan berdasar reduction area yang dihasilkan pada saat pengujian tarik sample dengan orientasi searah tebal material (seperti gambar diatas). Ada 2 kategori Z-grade material menurut GL rule, yaitu Z25 dan Z35, dimana Z25 adalah jika reduction area yang dihasilkan sebesar 25% minimum, sedang untuk Z35 reduction area yang dihasilkan minimum harus sebesar 35%.

Pengujian dilakukan pada 3 specimen uji tarik (Z direction), dimana salah satunya boleh kurang dari 25% tetapi masih harus lebih besar dari 20% untuk Z25. Sedang untuk Z35 salah satu specimen boleh kurang dari 35% tapi masih harus lebih besar dari 25%.


Pemakaian material ini umum diterapkan pada struktur bangunan lepas pantai, kapal ataupun floating unit sperti FPSO, FSO dan FSRU, yang biasanya dipakai pada bagian struktur yang mengalami beban vertical terhadap ketebalan pelat/material, seperti doubler plate pada koneksi antara deck plate dengan stool topside production module.

Selasa, 09 November 2010

Pembangkit Listrik Tenaga Tikus (PLTT)


Posting kali ini gak terlalu serius, cape serius terus. Btw, ini sebetulnya lintasan ide aja.. liat-liat kok banyak banget tikus itu sliweran di jalan, apalagi klo sudah malem. Terus mau diapakan hewan jenis rodentia itu. Beberapa pengrajin sudah bikin jaket dari kulit tikus dan yang parah lagi ada yg dibikin sate atau bakso... rumornya sih(saya sendiri belum pernah ketemu & gak berharap ketemu...)

Terus kadang muncul isu krisis energi, energy kok krisis... Lha hukum kekekalan energy itu kan intinya berbunyi spt in: "Energy tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat dirubah dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain". Jadi misal energy panas bisa dirubah jadi energy mekanik lewat proses di mesin uap, dsb. Terus krisis darimana? wong jumlahnya tetap? bentuknya aja yang lain..

Lha ini konsep merubah energy dari yang banyak tersedia & belum termanfaatkan.. ya tikus itu tadi. Konsepnya adalah merubah energy mekanik menjadi energy listrik.. cuma energy mekanik kita dapat dari tikus yang disuruh lari di roller wheel, terus diconnect ke dinamo via belt..

Just a light idea.. nothing more...

Jumat, 22 Oktober 2010

Foto-Foto MODU Deep Water Horizon Pada Saat Terbakar












sumber: http://visboo.com/deepwater-horizon-in-flames.html

Senin, 06 September 2010

Catamaran sebagai Kapal Anti Ranjau

Ini gara-gara browsing di google.. ketemu flash file tugas akhir saya di perpustakaan kampus… judulnya ”Analisa Teknik Pemakaian Catamaran untuk Kapal Penyapu Ranjau sebagai Sarana Penunjang Keamanan Wilayah Perairan Indonesia”. Jadinya re-memorize… data utama kapal pembanding tulisan ini diambil dari KRI Pulau Rengat (PRE 711) salah satu dari 2 kapal penyapu ranjau kelas Tripartite milik TNI-AL (yg juga MCM vessel standard NATO). Karena 10 MCM yang lain, dari total 12 unit MCM vessel milik Armada RI adalah kelas Condor ex Jerman Timur. Tapi terus terang, jangan lalu dibayangkan tulisan skripsi tersebut sebagai tulisan yang canggih, karena fokusnya bukan pada sistem & peralatan penunjang perang anti ranjau seperti sensor, command, control, information and weapon. Tapi tulisan ini lebih kepada analisa teknis bagaimana jika kapal anti ranjau dibangun diatas platform kapal dengan lambung ganda yang lebih dikenal sebagai twin hull atau catamaran. Twin hull.. bukan double hull lho...

Pada tulisan ini kapal penyapu ranjau yang didesign adalah sekelas coastal Mine Counter Measure (MCM) vessel. Pertimbangan design lambung catamaran dari kapal penyapu ranjau didalam tulisan ini lebih didasarkan pada ide adanya ketersediaan geladak yang lebih luas dari catamaran dibanding kapal lambul tunggal (monohull), draft catamaran yang relative kecil dan stabilitas yang cukup baik, meskipun cenderung kaku pada olah gerak (manouverability) dan period oleng kapal.

Sedikit mengulas tentang beberapa type ranjau laut, yang ,mana faktor ini juga menjadi salah satu dasar pertimbangan design, merujuk pada kondisi medan seperti apa kapal tersebut akan beroperasi.
Ranjau laut dibagi menjadi beberapa jenis a.l:

Ranjau jangkar (anchor sea mine), dimana ranjau tersebut ditambat ke dasar laut dengan menggunakan jangkar, rata-rata detonatornya dengan fungsi sentuh. Sehingga pada saat lambung kapal menyentuhnya ranjau tersebut akan meledak. Jenis ranjau ini adalah ranjau konvensional. Ada lagi yang disebut sebagai ranjau pintar (smart mine) dimana fungsi peledakannya dengan indiksi yang ditangkap sensornya, atau biasa disebut sebagai influence mine, ada juga capsulated torpedo (CAPTOR) dan Sea Launch Mobile Mine (SLMM). Influence mine akan aktif berdasarkan indikasi getaran, medan magnet, displacement air disekitarnya sesuai dengan sensor yg dipasang padanya.

Captor sendiri sebetulnya adalah torpedo yang dimasukkan dalam tabung kemudian diletakkan didasar laut. Dilengkapi dengan sonar pasif yang akan bekerja terus memonitor laut disekitarnya, jika sonar pasif tersebut menangkap suatu objek bergerak (kapal selam terutama) maka sonar tsb berubah fungsi menjadi sonar aktif dan sekaligus menjadi locator dari object tersebut. Kemudian torpedo didalam container akan dilepaskan menuju sasaran. Captor sengaja didesign sebagai penghancur kapal selam, dan bisa diletakkan oleh wahana apa saja, baik kapal selam, kapal permukaan atau bahkan pesawat.
Sedikit berbeda dengan captor, SLMM juga merupakan ranjau yang digeletakkan didasar laut, hanya metode peluncuran SLMM yang melalui tabung torpedo kapal selam, dan relative untuk perairan yang lebih dangkal dibanding captor.

Dari sisi system detonasinya, ranjau dapat dibagi menjadi ranjau sentuh (konvensional) dan system sensor, baik dari displacement, getaran atau medan magnet tadi (smart mine).

Dari dasar ancaman ini, menjadi pertimbangan bahwa kapal penyapu ranjau harus mempunyai draft/displacement kecil untuk menghindari ranjau jangkar dan ranjau dengan sensor displecement, frekuensi getaran lambung akibat pengaruh mesin propulsi yang harus serendah mungkin untuk menghindari ranjau dengan sensor getaran, serta bahan lambung harus anti magnet untuk menghindari ranjau magnetis.

Persyaratan tersebut secara teknis mampu disediakan oleh type lambung catamaran. Karena catamaran menyediakan draft kecil, disamping keungguulan lain dimana catamatran juga memiliki geladak yang jauh lebih luas sehingga banyaknya peralatan pada deck party (deck utama pada bagian buritan kapal yang berfungsi sebagai pusat aktifitas penyapuan/ buru ranjau) seperti decompression chamber, peralatan selam, PAP atau ROV (Remotely Operated Vehicle) untuk demolisi ranjau, drone, dll yang reatif memakan tempat disamping kebutuhan space untuk pergerakan personel.

Disamping ketersediaan draft kecil oleh catamaran, untuk mengurangi getaran lambung di air maka system propulsi electric (retractable propulsion) akan dipakai pada operasi anti ranjau, retractable propulsion lebih sebagai penunjang pada saat operasi penyapuan/ buru ranjau dimana mesin induk akan non-aktif pada tahap ini. Selain itu juga sebagai antsipasi ranjau magnet maka lambung kapal dilengkapi system degaussing sebagai tambahan dari pemakaian material composite pada struktur lambungnya, yang biasanya menggunakan fiber reinforced plastic (FRP).


Hanya mungkin seberapa besar pengaruh frekuensi periode rolling dan maneuverability lambung terhadap fleksibilitas operasi kapal dan pengaruhnya terhadap peralatan yang mungkin perlu diteliti lebih lanjut. Tetapi secara umum catamaran layak dipakai sebagai host platform kapal anti ranjau (MCM vessel), baik fungsinya sebagai sapu ranjau (mine sweeper), buru ranjau (mine hunter) ataupun fungsi kombinasi dari keduanya. Atau bahkan kemampuan seabed scanningnya dapat dipakai untuk fungsi non-militer seperti SAR (cari kapal atau pesawat yang tenggelam), hydrographic survey, dan lain-lain.

Selasa, 31 Agustus 2010

"Latest Edition" Standard


Acapkali kita temukan pada saat membaca atau mereview sebuah dokumen teknis seperti spesifikasi dan prosedur, istilah “Latest Edition” untuk menunjukkan referensi acuan yang paling up date.

Sebagai contoh kalimat: “… all provision of welding requirements of latest edition of the API 1104 standard shall be fulfilled…” Dimana disini dimaksudkan bahwa pihak yang melaksanakan proses pengelasan harus memenuhi semua persyaratan teknis sesuai dengan standard API 1104* edisi yang terbaru. (Note - API : American Petroleum Institute – API 1104 Welding of Pipeline and Related Facilities).

Dari contoh kalimat diatas tentunya mempunyai maksud yang baik dimana proyek akan diusahakan untuk memenuhi persyaratan teknis yang tinggi dan paling mutakhir dengan mengadopsi standard pengelasan edisi terbaru. Tetapi satu hal yang perlu disadari dari suatu standard industri adalah standard akan selalu mengalami perubahan dan pemutakhiran. Hal ini sangat bergantung kepada perkembangan industry dan kemajuan teknologi dimana standard itu hidup, yang kemudian perkembangan tersebut dituangkan dalam standard edisi-edisi terbitan berikutnya – bisa jadi periodic tahunan, dua tahunan ataupun yang umum memang tidak selalu terbit secara periodik.

Untuk proyek-proyek dengan jangka panjang (multi years) pemakaian istilah “latest edition” dapat berpotensi menimbulkan perselisihan dalam proses berjalannya proyek. Sebagai contoh bisa saja terjadi perselisihan antara project owner dengan contractor/vendor, dimana pada saat penerbitan order atau tandatangan kontrak suatu proyek mengacu pada standard terbitan terbaru pada saat itu. Tetapi kemudian, terbitlah standard yang lebih baru lagi dalam perjalanan waktu proyek tersebut. Hal ini sedikit banyak akan menimbulkan pertanyaan bagi beberapa pihak apakah yang diacu adalah standard diawal proyek atau standard yang baru terbit. Karena standard yang baru terbit ini sekarang yang menjadi “the latest edition”.

Jika harus bertahan di standard edisi awal proyek maka secara legal/kontraktual hal ini adalah pelanggaran karena standard tersebut bukan lagi menjadi yang “latest edition”, tetapi jika mengikuti standard yang baru terbit maka banyak efek yang akan ditimbulkan seperti perubahan design, kenaikan harga karena perubahan persyaratan, keterlambatan waktu penyelesaian, dll.

Memang pada umumnya hal ini tidak akan menjadi hal yang sangat ekstrem karena skala perubahannya akan tergantung seberapa besar perubahan pada standard tersebut dan sejauh mana standard yang berubah tersebut mempengaruhi proyek, karena proyek pada umumnya memakai banyak standard acuan.

Untuk itu sebaiknya pemakaian frasa “latest edition” bagi suatu dokumen proyek dihindari, lebih baik menetapkan langsung tahun terbitan edisi yang terbaru, seperti API 5L:2007, ISO 9001:2008, dll. Atau sebagai alternative mungkin bisa juga disebutkan “latest edition when contract signed” tetapi tentunya pihak legal yang lebih mengetahui tentang bahasa kontraktual...

Jumat, 27 Agustus 2010

Pertumbuhan Industri Kapal Dalam Negeri Meningkat 15 %



Surabaya - Pertumbuhan Industri kapal dalam negeri mulai bangkit dan terus mengalami peningkatan hingga 15 persen. Bahkan, saat ini sekitar 30 tender kapal akan dimenangkan oleh industri kapal lokal.

Hal ini diungkapkan Menteri Perindustrian, MS Hidayat, usai menyaksikan penandatangan nota kerjasama antara PT DOK dan Perkapalan Surabaya (DPS) dengan PT Pertamina di PT DPS, Jalan Perak Barat Surabaya, Kamis (26/8/2010).

"Saat ini pertumbuhan industri perkapalan mulai bangkit dan sedang berkonsolidasi,"
katanya.

Hidayat juga mengungkapkan, kebangkitan ini berdampak terhadap keuntungan yang besar. Menurutnya, lebih kurang 30 tender yang kemungkinan akan dimenangkan industri kapal lokal.

Hidayat menambahkan, pertumbuhan industri perkapalan sendiri akan terus berkembang
hingga 5 tahun kedepan. "Untuk akhir tahun ini kemungkinan akan ada puluhan sekitar
5-15 persen," pungkasnya.

Source:http://surabaya.detik.com/read/2010/08/26/164022/1428762/466/pertumbuhan-industri-kapal-dalam-negeri-meningkat-15-?y991102465

Kamis, 26 Agustus 2010

Kapal Non Konvensi (Non Convention Ship)



Kembali ke definisi kapal, dimana menurut UU RI No 21 th 1992 kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Jelas sekali menurut UU ini, semua kendaraan air adalah kapal. Tetapi sedikit meninjau ketentuan umum dari konvensi internasional IMO – terutama SOLAS & ILLC - yang banyak diadopsi oleh negara-negara didunia ini termasuk Indonesia, disini terlihat konvensi internasional tersebut lebih fokus aplikasinya untuk kapal-kapal dengan jalur pelayaran internasional. Adalah suatu hal yang wajar jika konvensi tersebut membatasi kriteria kapal-kapal yang wajib terkena peraturanya dikarenakan sangat sulit untuk membuat satu peraturan dasar yang dapat mencakup berbagai jenis dan ukuran kapal beserta kondisi operasinya.

Seperti disebut diatas bahwa karena konvensi internasional tersebut lebih membatasi diri untuk kapal dengan internasional voyage, sehingga menjadikan kapal dengan kriteria dibawah ini tidak terikat pada aturan konvensi tersebut.

SOLAS (Safety Of Life At Sea) tidak berlaku untuk kriteria kapal dibawah ini:
- Kapal perang dan kapal pasukan
- Kapal kargo dengan tonase kurang dari 500GT
- Kapal yang tidak digerakkan dengan peralatan mekanis.
- Kapal kayu yang dibangun secara primitive (tradisional)
- Yacht yang tidak dipakai untuk perdagangan
- Kapal Ikan

Demikian juga ILLC (International Load Line Convention), yang tidak berlaku untuk kriteria kapal dibawah ini:
- Kapal perang
- Kapal baru dengan panjang kurang dari 24 meter
- Kapal “existing” dengan tonnage kurang dari 150GT
- Yacht yang tidak dipakai untuk perdagangan
- Kapal Ikan

Karena kapal-kapal dengan kriteria diatas tidak tercakup dalam aturan konvensi, maka istilah yang umum diberikan untuk kapal-kapal tersebut, yaitu Kapal Non-konvensi atau “Non-convention Ship”.

Secara logika, berarti konvensi diatas tidak menyediakan peraturan spesifik yang berfungsi sebagai standard jaminan kelayakan dan keselamatan kapal-kapal non-konvensi tersebut. Dalam hal ini adalah menjadi kewajiban pemerintah suatu negara untuk memastikan bahwa ada dan tersedianya sutau peraturan spesifik yang menjamin kelayakan kapal-kapal non-konvensi di wilayah negaranya.

Kalau kembali merujuk pada text dari UU RI No 21 th 1992 diatas, maka disini jelas bahwa pemerintah memang mempunyai kewajiban cakupan yang lebih luas daripada apa yang disediakan oleh konvensi internasional. Karena UU no 21/1992 tersebut mencakup semua kapal tanpa memandang batasan criteria seperti diatas.

Sehingga penerbitan Kepmenhub no. KM65/2009 tentang Standard Kapal Non-konvensi pada September 2009 lalu adalah suatu langkah maju pemerintah sebagai upaya mencapai standard keselamatan pelayaran yang lebih baik. Mengingat beberapa negara dikawasan ini telah memiliki peraturan sejenis sejak beberapa tahun yang lalu, antara lain Singapura yang sembilan belas tahun lebih dulu dengan adanya Merchant Shipping Act(Non-Convention Ships) Safety Regulations, yang terbit tahun 1990.

Bagaimanapun juga keterlambatan bukan menjadikan alasan bagi kita untuk tidak bisa menjadi yang terbaik, sekarang tergantung bagaimana komitmen semua stake holder perkapalan & pelayaran di Indonesia untuk menggapainya.

Senin, 02 Agustus 2010

Tank or Waterborne Vehicles..?


In 1951, when the Soviet Union was on its high, authorities had an idea of building special floatation devices for tanks. First sample workpieces for T-54 tank were made at in 1952, and, some several weeks later tests were carried out on the Oka river. In the next two years trial test at the sea were conducted. And in 1957, eventually, the floatation device was passed into service.


There were supposed to be as many as 187 (according to the amount of tanks) floatation devices on the strength of the motor rifle division.
Along with that working activities of building floatation devices for T-55 and 3SU-57-2 tanks were lead. In 1959 at plants №342 and №174 there were working activities of commoning of floatation devices carried out. In 1960, an upgraded floatation device PST-U (universal one) was put into service.


PST-U consisted of five pontoons that were filled with plastic foam. Total weight of the device was 10 tonnes. Buoyancy reserve (with T-54 tank) was 40%. Maximum speed of tank with the floating device was 19 km/h ashore and 12 km/h afloat. The floating device was equipped with its own fuel tanks with a capacity of 500 litres; equal to coverage of 60-80 kilometers distance without any tank’s fuel consumption.


Water obstacles traverse could be done with sea disturbance of 5 points and tank gunnery with 1.5 points. Together with tank it was possible to carry a landing troops crew of 25 people (40 for 3SU-57-2) though gunnery with the crew aboard was prohibited. A floatation device mounting could be carried out in as less as 35 minutes and its release was performed in no time at all. PST-54 floatation device was carried by four ZIS-151 trucks.

In 1962 there were test of light-weighted floatation device PS-1 for T-55 carried out. Its total weight was 5.5 tonnes, its maximum speed was 13.7 km/h afloat and 25 km/h aground while it could cover up to 100 kilometers. The floatation device was carried by two trucks.
After it lots of new tests were performed and many different upgraded kinds of floatation devices (some of them for heavy tanks) were constructed.


In the end of 1950’s there was engineering of high-velocity landing floatation devices with underwater wings commenced. The floatation device comprised two motor boats (with displacement of 12 tonnes each) which helped to boost speed of a waterborne vehicle to 30 knots. Every motor boat had engine with 1000 hp/h. First prototypes were made in 1961.

In 1967-1968 two production prototypes passed tests and mass production began. The Baltic and the Black Sea region battalions were equipped with these floatation devices right away.

Source: englishrussia.com

Minggu, 01 Agustus 2010

Keterlibatan "Pihak Ketiga" dalam Sebuah Proyek


Proyek adalah suatu pekerjaan yang spesifik dengan tujuan tertentu yang melibatkan sumberdaya, biaya, periode waktu yang terbatas dan biasanya dijadwalkan secara detail.

Dalam suatu proyek pembangunan – misal kapal, offshore structure ataupun instalasi lannya – dilihat dari satu sisi, adalah interaksi antara dua buah atau lebih budaya perusahaan yang berbeda. Minimal adalah interaksi antara pihak pemilik (project owner) dan pihak yang mengerjakan (lazim disebut sebagai kontraktor). Spesifikasi teknis dan kontrak order adalah dokumen-dokumen yang merepresentasikan keinginan owner atas level produk yang harus dihasilkan/ dibuat oleh kontraktor serta bagaimana kontraktor harus mengikuti keinginan owner dari sisi non-teknis yang lain-seperti term of payment, progress measurement, dll. Sebetulnya disinilah terasa bahwa nilai-nilai budaya perusahaan dari pihak owner terepresentasikan.

Sedang di satu sisi, pihak kontraktor juga memiliki budaya kerja dan pengalaman terhadap proyek sejenis, bagaimana mereka akan merealisasikan order dan spesifikasi teknis yang diminta oleh pihak owner.

Benturan antara pihak owner dan kontraktor dalam suatu proyek kerap terjadi baik dari sisi teknis maupun sisi non-teknis, meskipun rata-rata masih dalam batas-batas kontraktual. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, dan yang paling mendasar adalah perbedaan intepretasi antara kedua pihak terhadap pasal-pasal dalam spesifikasi dan/atau kontrak, belum lagi jika proyek tersebut dijalankan oleh personel kunci yang kurang dalam hal kompetensi dan kewenangan, baik personel dari pihak owner ataupun kontraktor.


Perbedaan intepretasi ini bisa terjadi pada tahap yang paling awal sekalipun dari sebuah proyek, yaitu pada proses tender/lelang, dimana beberapa factor a.l kesalahan perhitungan dari pihak kontraktor dimana salah satunya adalah kenaikan harga pasaran barang & bahan di tengah periode pelaksanaan proyek, sehingga otomatis menaikkan biaya proyek yang kadangkala dikompensasikan dengan mengurangi variabel biaya yang lain yang berdampak pada kontrak/spesifikasi. Atau juga kesalahan mengintepretasikan lingkup pekerjaan dari dokumen lelang, dimana ada kalanya lingkup pekerjaan tertentu ternyata memerlukan pekerjaan pendukung lain yang memerlukan biaya dan tenaga tambahan yang sebelumnya tidak terperhitungkan.

Untuk mengurangi benturan dalam hal teknis, biasanya suatu kontrak proyek melibatkan pula “pihak ketiga” yang lazim disebut sebagai third party ataupun pihak dari otoritas yang disebut sebagai certifying authority atau notification body. Dimana pihak third party ini melakukan verifikasi terhadap proyek tersebut secara teknis, dan jika ada perbedaan antara owner & kontraktor, maka third party akan menjadi penengah berdasar referensi regulasi/statutory, spesifikasi teknis, standard/code dan persyaratan kontrak, tentunya dilihat secara case by case. Dalam pembangunan suatu kapal baru ataupun kegiatan docking, badan klasifikasi adalah pihak yang berperan sebagai third party, bahkan lebih dari itu dimana pada banyak hal badan klasifikasi juga berperan sebagai wakil dari flag authority untuk urusan statutory/regulasi.

Disamping itu bukan hal yang jarang pula dimana perbedaan pendapat secara teknis di lapangan adalah akibat dari kompromi-kompromi non teknis antara owner & kontraktor. Dan jika hal ini harus terjadi, maka pemenuhan persyaratan minimum spesifikasi dan standard merupakan syarat mutlak yang harus tetap dilakukan.

Oleh sebab itu, seberapa jauhnya perbedaan budaya perusahaan antara owner dan kontraktor dalam pelaksanaan suatu proyek, persamaan persepsi, pemahaman dan pendekatan setiap masalah kepada peraturan, regulasi, standard/code dan best practice adalah hal yang sangat mendasar untuk mengurangi perbedaan pendapat yang kontraproduktif.

Selasa, 20 Juli 2010

Mesin Diesel Kapal (Marine Diesel Engine)


Banyak orang bertanya, apa perbedaan antara Mesin Diesel kapal ( Marine engine ) dengan Mesin Diesel yang dipakai didaratan ( konvensional ). Kenapa untuk melayani operasional, perawatan dan perbaikan - perbaikan kecil mesin - mesin diesel kapal, para masinisnya ( Engineer ), ada yang setingkat D3 ( ATT III ), S1 ( ATT II ), bahkan ada yang setara dengan S2 ( ATT I / M,Mar Eng ). Sementara mesin - mesin diesel di daratan cukup dilayani oleh tamatan SMK s/d D3 Permesinan saja. Prinsip kerja mesin diesel baik di darat maupun di kapal - kapal sama saja, tak ada perbedaan yang signifcan. Sedangkan letak perbedaannya, antara lain ada pada :
I. Material.
Material mesin - mesin diesel kapal ( Marine engine ) dibuat lebih tangguh dari pada mesin - mesin yang ada didarat, agar tidak mudah mengalami kerusakan / keropos bila bersinggungan dengan air laut yang mempunyai kadar garam sangat tinggi dan mengandung unsur - unsur mineral dan biota laut perusak lainnya. Untuk mengantisipasi terjadinya hal - hal yang demikian, maka di lakukan tindakan - tindakan sebagai berikut :

1. Melakukan pengecatan " Anti Faulant ", memasang Zink Anode pada sea chest air laut masuk dan pada cooler-cooler mesin untuk mencegah pengkeroposan material.
2. Memasang system dosis Alkytrimethylene Diamenes, suatu cairan Anti faulant Marine Chemical Corrosive Liquid Basic Organic, sebelum pendistribusian air laut dari sea chest kepemakaian Sedangkan mesin-mesin diesel di darat tidak pernah mengalami hal - hal seperti ini.

II. Operasional mesin.
Selama pengoperasiannya ( Engine running ), mesin-mesin diesel darat hanya mendapat getaran dari mesin itu sendiri ( internal vibration ), tidak pernah menerima getaran dari luar ( external vibration ), kecuali bila terjadi gempa bumi. Tidak demikian halnya dengan Marine engine, selain mendapat getaran mesin itu sendiri, mesin - mesin diesel kapal juga mendapatkan getaran perlawanan dari luar, karena guncangan dari badan kapal yang diterpa ombak laut. Terjangan ombak yang begitu dahsyat terhadap badan kapal bisa membuat mesin mengalami kemiringan sampai sekitar 60 derajat. Bila hal ini terjadi bisa mengakibatkan mesin mengalami, sebagai berikut :

1. Tekanan lub. oil akan mengalami kekosongan ( hampa ), bila hal ini terjadi, maka tekanan lub. oil akan menurun ( lub. oil low pressure ), mesin akan mati secara mendadak ( Shutdown immediately ), atau mesin mengalami rusak berat ( break down ). Untuk mengantisipasi terjadinya hal - hal seperti ini, maka pada saat rancang bangun, marine engine dipasang dua buah pipa isap lub oil didepan dan dibelakang agak kekanan, atau kekiri lub oil carter engine. Sehingga bila mesin mengalami kemiringan kearah manapun dan berapa derajatpun, lub oil tetap akan terisap oleh pompa minyak lumas.Sedangkan pada mesin - mesin darat pipa isap minyak lumas cukup satu saja.
2. Buritan kapal terangkat, sehingga baling-baling terbebas dari tekanan air laut, secara logika akan terjadi putaran lebih ( over speed ) pada mesin induk, atau bisa juga terjadi kerusakan yang fatal ( break down ). Tetapi hal sudah diantisipasi oleh perancang Marine engine dengan memasang pengaman pada Governoor, agar putaran mesin tetap menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Alat pengaman ini dikenal dengan nama " Over Speed Trip ". Pada mesin - mesin darat tidak dilengkapi dengan peralatan ini.

III. Penempatan dan penataan ( Arrange & install )
Pemasangan dan penataan pada mesin-mesin di darat sangat simpel dan sederhana. Buat pondasi yang kokoh, rata, pasang engine mounting untuk perendam getar, bila mesin beroperasi. Install, cooling system, exhause gas system, On / Off system, memakai angin penjalan atau battery. Allignment dengan kebutuhan pemakaian, apakah untuk pembangkit atau lainnya, selesai sudah. Pada saat pembangunan kapal, yang paling sulit dan penuh kehati-hatian adalah pem buatan pondasi mesin, terutama mesin induk, tidak cukup dengan rata saja, tetapi harus memperhitung semua yang berkaitan dengan mesin tersebut. Harus memperhitungkan titik berat kapal, kelurusan dengan gear box, propulsion, momen - momen yang kemungkinan akan terjadi saat kapal telah beroperasi, dan pengendalian mesin untuk kebutuhan manouvering. Apalagi, bila kapal tersebut memakai dua mesin ( twin engine ).
Ini semua belum termasuk, pengoperasian, perawatan dan perbaikan, bila kapal telah dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Jadi, wajarlah bila engineer - engineer kapal ada yang setara dengan S2

Sumber: Adonis - http://www.indonesianship.com/depan-isi2.asp?id=1278

Jumat, 18 Juni 2010

TORPEDO - rudal bawah air...?

Torpedo adalah salah satu senjata utama yang dipakai dalam peperangan laut, torpedo pada umumnya berbentuk tabung dengan baling-baling (propeller) dibagian belakangnya sebagai penggerak utama.
Torpedo sendiri dapat diluncurkan dari kapal selam, kapal atas air, maupun dari helicopter sebagai salah satu bentuk dari perang terhadap kapal selam (ASW: Anti Submarine Warfare).


Bagaimana Sistem Propulsi Torpedo

Torpedo pada dasarnya adalah sebuah rudal berpandu (guided missile) yang “terbang” di dalam air. Untuk itu torpedo mempunyai sistem pendorong/propulsi, sistem pemandu dan sistem peledak sendiri. Torpedo dapat melaju hingga beberapa mil laut untuk mencapai targetnya sehingga mereka memerlukan sistem pendorong yang cukup untuk mencapai sasaran tersebut.

Tidak seperti rudal yang digerakkan dengan memakai rocket atau mesin jet, torpedo umumnya memakai salah satu teknik propulsi dibawah ini:
1. Propulsi dengan battery dan motor listrik, sistem ini mirip dengan sistem propulsi kapal selam konvensional (kapal selam diesel-electric) pada saat mereka berada dibawah air.
2. Mesin dengan bahan bakar khusus, dimana tidak seperti pada umumnya mesin mobil atau jet yang mengambil udara disekitarnya untuk oksidizer yang dibakar bersama bahan bakarnya. Torpedo tidak bisa melakukan hal itu, sehingga mereka memerlukan bahan bakar tanpa oksigen sebagai oxidizernya, atau mereka dirancang untuk membawa oxidizer sendiri di dalamnya. Bahan bakar ini sering disebut sebagai “otto fuel” yang mana bahan bakar ini memiliki campuran oxidizer sendiri. Hidrogen peroksida adalah salah satunya, dia tidak memerlukan oxidizer. Bahan bakar seperti ini jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dikarenakan bahan bakar yang mengandung oxidizer seperti ini mudah meledak dan memiliki berat lebih dari bahan bakar umumnya.

Bagaimana Torpedo bisa Merusak Kapal Sasaran

Secara umum, kebanyakan dari torpedo dirancang untuk meledak pada jarak yang sangat dekat dengan kapal sasaran. Efek dari ledakan tersebut akan membentuk sebuah ruang udara kosong didalam air yang disebut “void”, akibat tekanan udara dari void tersebut akan menyebabkan kerusakan struktur lambung kapal, kerusakan tersebut akan semakin diperparah dengan beban dari struktur lambung kapal itu sendiri. Dengan kata lain, ledakan torpedo menghasilkan gelembung udara yang sangat besar dibawah kapal, sehingga memberikan beban tekanan atau mengangkat sebagian dari lambung kapal, efek dari beban tekanan ke lambung secara local tersebut yang akan merusak kapal.

Torpedo sendiri telah disetting untuk meledak pada jangkauan jarak dan kedalaman tertentu, yang idealnya pada bagian tengah kapal (midship). Ledakan akan mengangkat kapal pada titik ini, kemudian lambung kapal akan “dijatuhkan” karena pecahnya void tadi. Jadi sebetulnya torpedo tidak benar-benar memukul lambung kapal sasaran, karena torpedo meledak dibawah kapal.

Void tersebut sebetulnya adalah gelembung udara yang berisi uap air dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga mampu mengangkat kapal dan menjatuhkannya lagi, dimana pada saat yang sama efek ledakan tersebut juga menghantam lambung kapal.

Berikut ini adalah foto-foto bagaimana torpedo bisa membagi sebuah lambung fregat menjadi dua bagian besar, dalam sebuah latihan.









Kamis, 17 Juni 2010

Menghentikan Semburan Lumpur Lapindo


Senin, 31 Mei 2010 19:20 WIB
Kebocoran dari pipa minyak bawah laut milik British Petroleum (BP) telah memasuki minggu ketujuh. Meskipun sulit, ahli-ahli di BP berjuang menutup kebocoran sumur bawah laut di Teluk Meksiko itu. Tak ingin reputasinya merosot, BP mengerahkan aneka upaya dan berbagai macam teknologi. Mereka optimistis kebocoran bisa dihentikan agar pesisir pantai Amerika Serikat tidak tercemar berat oleh tumpahan minyak.

Semburan ini menjadi sorotan dunia, terutama terkait keselamatan migas. Maklum, dengan semburan 3.000-5.000 barrel minyak per hari, insiden ini merupakan pencemaran terburuk dalam sejarah AS, melampaui bencana tumpahan minyak dari kapal tanker Exxon Valdez pada 1989 yang menebarkan minyak di laut lebih dari 245.000 barrel. Pemerintah AS memperkirakan, 18 juta sampai 40 juta galon minyak mentah telah mencemari Teluk Meksiko.

Akibat kejadian ini, Pemerintah Barack Obama mendapatkan tekanan berat dari oposisi, pencinta lingkungan, dan warga AS. Pemerintah Obama menekan BP agar terus berupaya menghentikan kebocoran. Obama tidak mau tahu, bahkan dengan tegas mengatakan penanganan kebocoran dan penanggulangan kerusakan lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung jawab BP. Obama juga menebarkan optimisme: ”Kami tidak akan menyerah sampai kebocoran bisa dihentikan, hingga air dan pantai-pantai dibersihkan, hingga orang-orang yang jadi korban bencana buatan manusia mendapatkan hidupnya kembali.”


Kondisi kontras terjadi di Indonesia. Sejak empat tahun lalu, persisnya per 29 Mei 2006, kita dihadapkan kepada semburan lumpur panas yang terus terjadi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sekitar 600 hektare kawasan terkena dampak semburan lumpur panas tersebut. Ribuan keluarga terpaksa dipindahkan dari lokasi bencana, termasuk pabrik. Infrastruktur publik, seperti jalan dan rel kereta api, rusak. Tak terhitung kerugian sosial dan ekonomi yang diderita oleh rakyat Jawa Timur akibat petaka lumpur panas itu.

Jika BP berjuang keras menghentikan kebocoran, sebaliknya semburan lumpur panas di Sidoarjo cenderung dibiarkan. Kita menyerah dan menganggap sebagai fenomena alam, seperti putusan Mahkamah Agung bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam. Bahkan, muncul ide dari Presiden Yudhoyono untuk menjadikan pusat semburan lumpur sebagai kawasan wisata. Bencana lumpur dianggap sebagai sesuatu yang layak jadi tontonan.

Untuk mematikan semburan membutuhkan tekad dan kesungguhan dari pelaksana. Karena itu, kasus semacam ini sering melahirkan "pahlawan" sejati, seperti yang dilakukan Wang Jin Xi tahun 1960 saat menanggulangi semburan di lapangan Daqing, China utara. Karena spirit dan inisiatifnya yang sangat kuat itu Jin Xi diberi gelar "Iron Man". Berkat “pahlawan-pahlawan” itu pula kecelakaan serupa di Selat Timor, Utara Australia, September 2009, berhasil dihentikan. Hampir semua negara di dunia yang memiliki lapangan migas, puluhan kali terjadi kasus serupa, baik di Indonesia, di AS, Afrika, Eropa, maupun Asia. Semua semburan tersebut berhasil dijinakkan.

Semburan migas yang tidak terkontrol dikenal dengan istilah "blow out". Di Indonesia, ini pernah terjadi di kawasan laut, seperti di pantai Kalimatan Timur, pesisir Sumatra, dan pesisir Jawa. Semburan migas di Indonesia dan Selat Timor terjadi pada kedalaman laut hanya beberapa puluh meter air laut. Sebaliknya, semburan di Teluk Meksiko berada pada kedalaman sekitar 1500 meter. Jadi, penangannya lebih sulit dan lebih mahal.

Karena air laut yang harus ditembus begitu dalam, maka teknologi selubung menggunakan "Riser", yaitu pipa yang menghubungkan dasar laut dengan permukaan yang memisahkan tercampurnya lumpur pemboran dari air laut. BOP (blow out preventer) atau alat pencegah semburan ditempatkan di dasar laut yang pengontrolannya dilakukan dari permukaan. Semburan dalam kasus di Teluk Meksiko ini sampai membuat Riser terputus dan lepas, sementara BOP tidak sempat mampu menahan tekanan yang datang dari bawah, sehingga semburan terjadi mulai dari dasar laut.

Untuk menutupnya dimulai dengan langkah "pendek", yaitu melokalisasi semburan dengan cara menurunkan Kubah yang besar dan berat, dan di puncaknya dihubungkan dengan pipa sebagai penyalur minyak sampai ke permukaan. Ini memungkinkan minyak dapat dialirkan ke tanker dan tidak tersebar ke segala arah dan mencemari laut. Analogi serupa dilakukan untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo, yaitu semburan diarahkan ke Sungai Porong dengan tanggul untuk sementara waktu.

Untuk mematikan semburan secara permanen dilakukan tahap berikutnya dengan teknologi "Dynamic Killing". Teknologi ini membutuhkan beberapa sumur miring yang dikenal dengan "Relief Well" untuk saluran menginjeksikan lumpur berat ke sumur sumber semburan. Lumpur berat tersebut akan memiliki tekanan hidrostatis yang cukup besar, sehingga mampu menahan tekanan yang datang dari bawah yang mendorong fluida ke permukaan. Di Teluk Meksiko, kegiatan lokalisasi semburan sudah berhasil dilakukan. Kini memasuki tahap mematikan semburan dengan teknologi dynamic killing.


Dengan metoda serupa, semburan di Selat Timor bisa dimatikan dalam waktu lebih dari empat bulan. Di Subang, Jawa Barat dan Randu-Blatung, Jawa Timur, memakan waktu sekitar lima bulan. Waktu tiga hingga enam bulan jadi pegangan para pelaksana dalam menanggulangi semburan pada kegiatan pengeboran migas. Di Teluk Meksiko, dua relief well sudah berjalan sejak 4 dan 26 Mei 2010. Di Sidoarjo telah disiapkan dua relief well. Sayangnya, kegiatan baru berjalan sekitar 20 persen harus terhenti karena biaya terbatas.

Lokalisasi semburan lumpur di Sidoarjo tidak perlu dengan kubah besar karena terjadi di darat. Lokalisasi cukup dengan mengalirkan ke Sungai Porong. Di Teluk Meksiko, lokalisasi juga dibantu dengan menebar bahan kimia "surfactant" yang memungkinkan minyak bersatu dengan air laut dan membuat minyak jatuh ke dasar laut tidak menyebar di permukaan. Di Sidoarjo tidak memerlukan surfactant karena semburan tidak mengeluarkan minyak secara signifikan, hanya air-panas-asin yang mengandung tanah liar serta gas hidrokarbon sedikit yang tentunya akan menguap sendiri ke permukaan.

Untuk mematikan semburan lumpur di Sidoarjo bisa dilakukan dengan metoda dynamic killing menggunakan relief well. Teknologi dynamic killing dengan bantuan relief well menjadi pilihan standar dalam setiap usaha mematikan semburan pada kegiatan migas, terutama yang memiliki semburan sangat kuat. Teknologi ini sudah dikuasai ahli-ahli migas anak negeri. Jadi, tidak perlu harus mengimpor ahli dan teknologi dari luar negeri.

Sebagai contoh, tahun 1984 di Subang, Jawa Barat, pada 1997 di lepas pantai Kalimantan, dan tahun 2001 di Randu-Blatung, Jawa Timur, semuanya ditangani oleh tenaga ahli dari Indonesia. Begitu pula setelah semburan lumpur di Sidoarjo, pada Desember 2008 semburan lumpur di Gresik, Jawa Timur, April 2009, dan semburan lumpur dan gas di Merbau, Sumatera Selatan, juga dapat dimatikan oleh tenaga ahli dari Indonesia Sendiri.


Untuk semburan yang ringan, dynamic killing bisa dilakukan pada sumur yang sedang menyembur dengan menggunakan bantuan pipa yang dimasukan ke dalam lubang yang sedang menyembur. Kemudian semburan dialirkan ke dalam pipa tersebut setelah di bagian bawah ada alat penyekat, disebut "Packer", diaktifkan. Metoda ini dipakai pada kasus ratusan sumur di Irak, dekat perbatan Kuwait, yang diledakan saat perang Irak-Kuwait sepuluh tahun lalu.

Metoda ini, diberi nama Top Kill, pernah dicoba di Teluk Meksiko. Namun, metoda ini tidak berhasil karena aliran semburan cukup kuat. Metoda ini juga pernah diaplikasikan di Sumur Banjarpanji, Jawa Timur, dikenal dengan metoda "Snubbing Unit" dan "Side Tracking". Namun, metoda ini tidak berhasil karena kualitas sumurnya sudah permanen tersemen dan pipa selubung casing-nya sudah penyok dan rusak.

Kecepatan dalam mengambil keputusan, seperti dilakukan "Iron Man" di China dan Obama di AS, untuk mematikan semburan adalah sebuah kebutuhan. Kegiatan tersebut didukung sepenuhnya oleh segenap kemampuan peralatan dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini. Sejarah mencatat, dengan langkah all out, tidak ada satupun kejadian semburan blow out yang tidak bisa dimatikan. Ironisnya, semburan lumpur di Sidoarjo empat tahun dibiarkan merana tanpa disentuh teknologi apapun.

Jika semburan lumpur di Sidoarjo tidak dihentikan, diperkirakan radius retakan yang diikuti semburan gas dan air tawar akan sampai sejauh tiga kilometer dari pusat semburan. Perkiraan itu muncul karena pusat semburan air di kedalaman tiga kilometer dari permukaan tanah. Oleh karena itu, sebaiknya warga yang berada di sekitar tiga kilometer atau kurang dari pusat semburan segera dievakuasi atau menjauhkan diri. Karena, cepat atau lambat, area tersebut akan turun atau ambles (subsidance) dan tanahnya retak. Hasilnya, di retakan-retakan tersebut akan timbul semburan gas baru.

Sampai saat ini jumlah semburan baru mencapai 182 buah. Semburan baru itu terjadi karena retakan di permukaan tanah yang mengakibatkan air bercampur gas metan keluar. Jika semburan terus terjadi, tanah di bawah menjadi berlubang dan membuat area sekitarnya tertarik turun. Akibatnya, retakan akan semakin banyak terjadi. Begitu pula semburan yang muncul akan kian banyak. Bentuk turunnya tanah akan seperti corong atau seperti gelas es krim. Jadi, di tengah amblesnya akan paling dalam.

Saat ini amblesan tanah permukaan di dekat semburan sudah mencapai lebih dari 14 meter. Jika dibiarkan, amblesan tersebut akan semakin dalam. Area yang terdampak amblesan saat ini mencapai 1000 meter lebih. Karena itu, area tiga kilometer dari pusat semburan sebaiknya tidak dibangun infrastruktur baru karena wilayah tersebut daerah yang berbahaya.

Menurut analisa sejumlah pihak, semburan lumpur di Sidoarjo bisa sepuluh tahun, atau bahkan 100 tahun lamanya. Ini tidak penting, yang paling penting justru jangan pasif menunggu berhenti, tapi harus dihentikan. Sebab, yang menyembur di lokasi lumpur Lapindo saat ini adalah air asin panas dari bawah tanah. Air itu tidak akan cepat habis dan tak ada yang tahu kapan habisnya.

Biaya yang dibutuhkan untuk menutup semburan lumpur di Sidoarjo diperkirakan hanya sekitar 100 juta dollar Amerika. Biaya ini tergolong murah dibandingkan dengan biaya menghentikan semburan di Teluk Meksiko yang makan miliaran dolar AS, 500 juta dollar di antaranya untuk penelitian lingkungan. Biaya 100 juta dolar AS ini juga termasuk kecil dibandingkan dengan pendapatan tahunan dari usaha migas di Indonesia yang sekitar 25 miliar dolar AS, dan belanja industri migas mencapai 10 miliar dolar AS. Diperlukan keseriusan dan keberanian, seperti halnya Wang Jin Xi dan Obama, dari para pemimpin negeri ini untuk memutuskan penutupan semburan lumpur Sidoarjo.

Sumber: Tulisan dari Rudi Rubiandini R.S. (Pakar Migas dari ITB) yang diposting di milist Migas Indonesia tanggal 17 June 2010.

Rabu, 26 Mei 2010

Blow Out Preventer (BOP)


Blow out preventer (BOP) adalah sebuah alat yang besar yang terdiri dari beberapa unit katup-katup(sering disebut juga sebagai “rams”), BOP ditempatkan diatas sumur (wellhead), dimana BOP ini bisa ditutup untuk alasan keselamatan pada saat pekerjaan pengeboran dilakukan. Rams atau BOP ini dirancang untuk menutup jika tekanan dari dalam tanah menyebabkan fluida (miyak atau gas alam) masuk ke dalam lubang pengeboran dan mengancam keselamatan rig.

Dengan menutup BOP tersebut, maka aliran dari fluida yang tidak diinginkan tersebut dapat dicegah, sehingga lubang sumur (wellbore) memungkinkan untuk dapat dikontrol kembali. Sekali sumur telah ditutup, selanjutnya situasi dapat dievaluasi untuk menentukan prosedur yang dipersyaratkan dalam rangka melanjutkan operasi dalam keadaan aman.

BOP ini dapat dipasang baik diatas tanah maupun didalam air. BOP untuk sumur-sumur diperairan yang dalam, digerakkan dan dikontrol dari jarak jauh oleh actuator hidrolis. Pada saat ini, rata-rata BOP untuk laut dalam dapat mengontrol 15.000 psi untuk kedalaman air sampai dengan 10.000 feet (sekitar 3000 meter).
Ada tiga tipe katup (valve) yang biasa dipakai untuk BOP di air dalam: Satu katup adalah “ram” yang berfungsi sebagai penutup/segel (seal) pada pipa dengan diameter yang spesifik dengan membentuk sebuah gerakan horizontal yang tajam. Tipe yang lain dengan berfungsi sebagai penutup/ segel pada pipa dengan diameter yang bervariasi. Sedang tipe ke tiga adalah katup BOP yang menutup langsung ke lubang sumurnya.
Untuk Horizon Deepwater BOP mengandung ketiga element dari jenis-jenis katup tersebut diatas.

Sumber: www.bp.com